Rabu, 24 November 2010

Kurikulum yang yokus pada life skill

Curriculum dalam bahasa Yunani kuno berasal dari kata Curir yang artinya pelari; dan Curere yang artinya tempat berpacu. Curriculum di artikan jarak yang harus di tempuh oleh pelari. Dari makna yang terkandung berdasarkan rumusan masalah tersebut kurikulum dalam pendidikan di artikan sebagai sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh atau disekesaikan anak didik. Dalam ungkapan lain, kurikulum adalah program belajar bagi siswa yang disusun secara sistematis dan logis, diberikan oleh sekolah untuk mencapai tujuan pendidikan. Sebagai program belajar, kurikulum adalah niat, rencana atau harapan. Sebagai pengalaman belajar kurikulum bemakna seluruh kegiatan yang dilakukan siswa baik di dalam maupun di luar sekolah asal kegiatan tersebut berada di bawah tanggung jawab guru (sekolah). Yang dimaksud dengan kegiatan itu tidak terbatas pada kegiatan intra muapun ekstra kurikuler. Apa pun yang dilakukan siswa asal saja ada di bawah tanggung jawab dan bimbingan guru itulah kurikulum. Kurikulum 24 jam seperti diterapkan di SMP Boarding Lazuardi Insan Kamil (LIK) berarti seluruh aktivitas siswa dari waktu tidur hingga mereka tidur kembali berada dalam tanggung jawab dan bimbingan sekolah (para guru).
Di SMP Boarding Lazuardi Insan Kamil, proses pendidikan tidak berjalan dengan verbalistik dan berorientasi hanya pada penguasaan mata pelajaran. Pendidikan tidak lagi difokuskan agar siswa menguasai informasi yang terkandung dalam materi pelajaran dan kemudian dievaluasi dari seberapa jauh penguasaan itu dicapai oleh siswa. Seakan-akan pendidikan bertujuan untuk menguasai mata pelajaran. Yang lebih ditekankan adalah bagaimana para guru membawa para siswa memahami keterkaitan materi ajar dengan kehidupan sehari-hari dan bagaimana materi tersebut dapat digunakan untuk memecahkan problema kehidupan. Inilah yang menjadi perhatian besar sekolah Boarding LIK. Pendidikan pun tidak lagi terlepas dari kehidupan keseharian. Pendidikan memiliki keterkaitan erat dengan kehidupan sehari-hari. Harapannya, para siswa dapat mengetahui manfaat apa yang dipelajari dan sampai lulus nanti. Mereka akan tahu bagaimana menggunakan apa yang telah dipelajari dalam kehidupan sehari-hari yang dihadapi.
Untuk mewujudkan harapan tersebut, kiranya perlu dilakukan langkah-langkah agar pendidikan dapat membekali para siswa dengan kecakapan hidup, yaitu kemampuan dan keberanian menghadapi problema kehidupan, kemudian secara kreatif menemukan solusi serta mampu mengatasinya. Pendidikan yang dapat mensinergikan berbagai mata pelajaran/mata diklat/mata-kuliah menjadi kecakapan hidup yang diperlukan seseorang, di manapun ia berada, bekerja atau tidak bekerja, apapun profesinya.
Dengan bekal kecakapan hidup yang baik, diharapkan para lulusan akan mampu memecahkan problema kehidupan yang dihadapi, termasuk mencari atau menciptakan pekerjaan bagi mereka yang tidak melanjutkan pendidikannya. Para siswa tidak hanya belajar teori belaka, tetapi juga mempraktekkannya untuk memecahkan problema kdehidupan sehari-hari. Mereka dibekali learning how to learn sekaligus learning how to unlearn, merujuk pada empat pilar pendidikan ajuan UNESCO, yaitu learning to know, learning to do, learning to be, and learing to live together.
Di Indonesia kini muncul apa yang disebut dengan Kurikulum berbasis kompetensi. Yaitu pendidikan yang menekankan pada kemampuan yang harus dimiliki oleh lulusan yang sesuai dengan tujuan pendidikan nasional, mencakup komponen pengetahuan, keterampilan, kecakapan, kemandirian, kreatifitas, kesehatan, akhlak, ketakwaan, dan kewarganegaraan. Konsekwensinya adalah perlunya pengembangan silabus dan sistem penilaian yang menjadikan peserta didik mampu mendemonstrasikan pengetahuan dan keterampilan sesuai dengan standar yang ditetapkan dengan mengintegrasikan life skill (Depdiknas, 2003, Pedoman khusus pengembangan silabus dan penilaian kurikulum 2004).
Life skill yang dimaksud secara umum meliputi general skills dan specific skill. General skill terdiri dari self awareness (kesadaran diri), thinking skill (keterampilan berfikir), dan social skills (keterampilan sosial). Sedangkan spesific skills terdiri dari academic skills (keterampilan akademik) dan vocational skill (keterampilan kejuruan atau keterampilan tugas tertentu).
Secara khusus, life skill yang dimaksud dan dibekalkan kepada para siswa SMP Boarding LIK terdiri dari dua bagian utama; relation with God (hablum minallah) dan relation with human (hablum minannas). Hablum minallah terkait dengan praktek-praktek formal ibadah harian; shalat, puasa, haji, zakat, dll dengan seluruh prosedurnya yang dilandasi dua kalimat syahadat, tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya. Adapun life skill hablum minannas terdiri dari banyak sekali bagian yang mungkin akan terus bertambah sesuai dengan kebutuhan relation shif antar sesama manusia; personal skill dan sosial skill. Personal skill terdiri dari thinking skill dan self awarness (life attitude), dan sosial skill terdiri dari collaboration skill, comunication skill, profesional skill, langugae skill (foreign language), dan IT skill.
Keduanya; hablum minallah dan hablum minan nas sama-sama berorientasi pada penghambaan (ibadadah) kepada Allah Swt guna memperolehan keridhaan-Nya. Keduanya memiliki keterkaitan yang sangat erat dan tak dapat dipisahkan. Karenanya kita harus memperhatikan keseimbangan antara keduanya. Tidak lebih fokus kepada salah satu dan kurang perhatian kepada yang lainnya.

hasan mawardi

kurikulum yang dikembangkan di LIK

From: Bahrissalim Bahrissalim
Dear pak Hasan..

Di S-3 saya ada mata kuliah Pengembangan kurikulum, kebetulan saya mempresentasikan model kurikulum berbasis Multiple Intellegences dan harus studi kasus. Bisa nggak diinfokan kurikulum yang dikembangkan di LIK.
terima kasih sebelumnya...

kalau melihat dari sisi muatan kurikulum yg meliputi sejumlah mata pelajaran yang ditempuh dalam satu jenjang pendidikan selama tiga tahun sama merujuk pada kurikulum diknas, namun krn kurikulum kita berbasis Multiple Intellegences setiap guru tidak fokus pada target kognitf. yang beda nanti pada materi muatan lokal (ada mata pelajaran Islamic Character Building) dan pada kegiatan pengembangan diri berupa program2 keasramaan. kesemuanya merupakan bagian dari muatan kurikulum LIK. raport kita nanti tetap akan memuat tiga ranah; kognitif, afektif dan psikomotor.
dalam penerapaknnya -sejauh ini Pak Bahris- selain menitipkan tema character/akhlak pada setiap mata pelajaran (IHB nya) para guru harus berubah paradigma bahwa kecerdasan itu banyak jenisnya. Jadi, guru matematika jgn terlalu "ngotot" pada nilai sembilan bagi setiap anak, B. Indonesia jgn "memaksa" seluruh siswa pandai menulis sebuah artikel ilmiah krn mungkin kecerdasan si anak bukan di situ. NAMUN STANDAR MINIMAL KETUNTASAN WAJIB TERPENUHI. APA PUN KECERDASAN DAN PROFESINYA NANTI SETIAP ANAK KUDU BISA MATEMATIKA.

hasan mawardi

Selasa, 23 November 2010

Mereka adalah sepasukan elang

KERJA SAMA PASUKAN ELANG

By Munif Chatib



Kesempatan kedua mengajar di SMP LAZUARDI INSAN KAMIL tidak saya sia-siakan. Tema kali ini adalah tentang kerjasama. Tema ini adalah permintaan para siswa, setelah tema pertama tentang kenakalan remaja. Mereka sepakat untuk berusaha sekuat mungkin tidak nakal. Lalu timbul masalah.



“Kami masih sering berantem, satu sama lain. Aku tidur suka lampu dimatiin, tapi teman sekamarku tidak suka,” kata seorang siswa. Maklum ini baru bulan ke dua mereka berkumpul yang sebelumnya mereka tidak saling mengenal. Sekarang sampai tiga tahun kedepan mereka berkumpul dalam satu sekolah ‘boarding’. Bagaimana mengatur cucian, makan, membangunkan temannya untuk tahajud, dan interaksi lainnya. Pasti butuh kerjasama yang baik.



Saya sudah siapkan lessonplan KERJA SAMA. DAN tepat sehabis sholat Isya, saya mulai mengajar. Saya melihat antusias mereka luar biasa. Mereka sudah menunggu. Mungkin antusias ini adalah bawaan dari keberhasilan proses belajar pada pertemuan pertama bulan lalu. Saya jadi teringat apa yang dikatakan Einstain, “kalau awalnya tidak gila, maka seterusnya adalah biasa-biasa saja.” Malam ini sepertinya rasa ngantuk mereka terkalahkan oleh keinginan untuk belajar.



Saya memulai dengan ‘scene setting’ memutarkan cuplikan adegan film Nemo. Bagaimana ribuan ikan yang yang terperangkan di jaring sebuah kapal pencari ikan. Seua ikan itu hampir saja terangkut ke permukaan samudera, jika si Nemo, ikan kecil yang lucu tidak mengambil inisiatif melakukan sesuatu. Nemo meminta seluruh ikan yang panik untuk bersama-sama berenang ke satu titik tujuan yaitu ke dasar samudera.

Bersama-sama. Dengan aba-aba dari Nemo, maka ribuan itu saling memberitahu dan berenang bersama ke dasar samudera. Dan mereka berhasil. Jala ikan itu tertarik ke dasar samudera. Nemo terus memberi aba-aba dengan semangat. Kapal mulai oleng sebab tarikan jala. Dan akhirnya jala itu putus. Ribuan ikan selamat dan kembali berenang di samudera. Nemo berhasil membangun KERJA SAMA.



Para siswa semangat menonton adegan itu. Lalu saya melakukan diskusi dengan para siswa. Pertama saya bertanya apa yang dilakun si Nemo dan teman-temannya. Serempak mereka menjawab “KERJA SAMA”. Lalu saya meminta kepada siswa untuk menjelaskan dengan bahasanya sendiri, apa yang dimaksud kerja sama dari film si Nemo. Sungguh luar biasa antusias mereka menjawab. Langsung lima anak angka tangan. Bergantian menjawab.

“Kerja sama itu kompak.”

“Kerja sama itu harus ada yang memimpin.”

“Kerja sama itu harus saling pengertian.”

“Kerja sama itu tidak ada yang mengkhianati.”

“Kerja sama itu tidak boleh berantem.”



Wow luar biasa, jawaban mereka. Apalagi seorang siswa yang cukup unik, tiba-tiba angkat tangan dan menjawab, “Kerja sama itu harus saling percaya.” Saya pikir mereka telah berhasil mengkonstruksi atau membangun pemahaman tentang makna KERJA SAMA hanya dengan melihat cuplikan adegan film Nemo. Saya meminta seorang siswa untuk mencatat dengan mind map pengertian kerja sama, sementara ini ada 6, semuanya berasal dari siswa, bukan dari saya. Kerja sama itu kompak, ada pemimpin, saling pengertian, tidak berkhianat, tidak bertengkar dan saling percaya. Saya merasakan betul kebenaran tentang teori belajar constructivism, bahwa para siswa sudah mempunyai bahan dalam benaknya, hanya tinggal guru yang membantu membangunya menjadi konsep yang baru. Siswa memang bukan gelas kosong.



Aktivitas inti dari materi KERJA SAMA mulai saya munculkan ketika semua siswa sepakat dengan definisi KERJA SAMA ada 6 poin. Saya munculkan masalah baru, yaitu apa syarat utama KERJA SAMA bisa terbentuk. Mereka ramai berdiskusi dan belum menemukan jawabannya. Saya mengulangi lagi dengan sebuah pertanyaan lebih jelas.

“Jika kalian tadi mengartikan kerja sama itu adalah kompak, saling pengertian dan saling percaya percaya, pasti ada penyebabnya suatu kelompok dapat kompak, saling pengertian dan percaya. Nah apa saja yang menjadi penyebab terjadikanya ikatan itu?”

Pada saat mereka berpikir saya mengatakan bahwa jika kalian mengetahui faktor penyebab terjadinya ikatan kerja sama itu maka kalian akan mengetahui sebuah ilmu Allah yang luar biasa dahsyat, dan berguna buat kalian seumur hidup. Lalu saya bertanya lagi, “Apa mau kalian catat informasi maha penting ini?” Semua menjawab, “Mauuuuuuu ...”

Saya berusaha membuat mereka penasaran. Ketika mereka sudah di puncak rasa penasaran, maka saya ‘jatuhkan’ pengetahuan itu. Mereka semua melongo menunggunya.

Saya mengatakan ada 3 hal sebab kerja sama itu dapat terwujud. Pertama, setiap kerjasama pasrti harus punya TUJUAN. Kedua ada PEMIMPIN dan ketiga setiap pihak harus merasa bisa, tepatnya AKU BISA.



Saya dan semua siswa bersama-sama menentukan TUJUANnya, yaitu menyelesaikan sekolah ini sampai 3 tahun. Harus mampu. Jangan ada yang gagal. TUJUANnya jelas. Lulus SMP LAZUARDI INSAN KAMIL. Ketua kelas adalah PEMIMPIN kelompok ini. Kepala Sekolah adalah pemimpin sekolah ini. Dan masing-masing siswa menjadi PEMIMPIN untuk dirinya sendiri. Lalu apa benar mereka semua adalah siswa yang mempunyai KEMAMPUAN?

Begitu masuk dalam bagian ini masing-masing siswa saling pandang. Langsung saya tekankan bahwa bagaimanapun kondisi kita pasti allah memberikan kelebihan kepada kita. Saya minta dua siswa berdiri, dan satu siswa menyebutkan kelebihan temannya. Jika dapat menyebutkan boleh duduk kembali.



Demikian seterusnya masing-masing siswa menyebutkan kelebihan dan kemampuan teman-temannya. Sambil penuh canda mereka melakukan ‘discovering ability’ kepada teman-temannya. Sampai pada seorang siswa yang ‘katanya’ paling ‘nakal’. Sunyi senyap, sepertinya sulit menyebutkan kelebihan dari siswa yang nakal tersebut. Padahal yang bersangkutan ingin sekali disebutkan kelebihannya dari mulut teman-temannya. Dan beberapa menit kemudian, muncullah suara.

“Dia paling lucu he he he ...” Dan kami semua tertawa lepas. Akhirnya dari 21 siswa semuanya teridentifikasi kelebihan dan kemampuannya. Bukti bahwa AKU BISA. Maka lengkaplah 3 hal unsur pembentuk kerja sama. Sebelum kelas berakhir, kami semua sepakat untuk menamakan kelas ini dengan nama hebat ‘PASUKAN ELANG’. Elang selalu terbang tinggi, biasanya menjadi lebih obyektif, sebab dapat melihat sesuatu dari berbagai sudut. Elang jika menukik cepat dan tepat, artinya semua yang ditargetkan semoga tercapai. Malam ini kami akhiri dengan bersalaman, bermaaf-maafan dan masing-masing siswa membisikkan dengan kelebihan masing-masing. Sungguh saya harus berterima kasih dengan PASUKAN ELANG. Mereka adalah siswa-siswa yang luar biasa dan semoga Allah meridhionya untuk menjadi pemimpin pada masanya. Malam ini kami tutup dengan cantik. Selamat istirahat PASUKAN ELANG. Sampai bertemu dengan TAHAJUD.

Info Pendaftaran Islamic Boarding School LIK

Seperti pada umumnya sekolah yang lain, SMP Boarding LIK memohon kelengkapan administratif pada saat proses pendaftaran; ijazah, foto, dll. namun yang terpenting bagi kami adalah pernyataan dari calon siswa bersangkutan bahwa sekolah di SMP Boarding Insan Kamil adalah kemauannya sendiri, bukan paksaan dari siapapun.

Pada tahun ajaran 2011/2012 ini kami membatasi hanya 25 kursi (siswa) saja, selain MIR dan surat kesehatan dari dokter kami tidak memberlakukan tes apapun, kami benar2 akan menerima seorang siswa dengan apa adanya.

Silahkan juga kunjungi kami di blog; http://www.lazuardiinsankamil.blogspot.com atau telpon kami di 0266 6248274 an Fadhil dan 0817109392 an Hasan

mudah2an informasi ini bermanfaat, amiiiiin

Hasan M (kepala SMP LIK)

Senin, 08 November 2010

Salatku adalah Jarum Jamku

Pada tanggal 2 Oktober 2010, saat sekolah kami (SMP Lazuardi Insan kamil) ingin menghadirkan seorang pemimpin daerah untuk peresmian sekolah, sampailah kami pada penyusunan agenda acara dan jumlah tamu undangan yang perlu diundang. Acara sudah tersusun rapi dimulai dari jam 9.00 WIB dan berakhir pada jam 12.00 WIB. “alhamdulillah susunan acara sudah selesai” ucap kami. “sebentar Pak, nanti di undangan jangan ditulis mulai jam 9.00 ya, tulis saja jam 8.00”, ucap seorang protokoler. “Iya pak, tulis jam delapan aja biar mereka datang tepat jam sembilan”, timpal sekreratis pribadi sang pejabat dimaksud. “biasa orang-orang kita mah suka jam karet ya Pak”, sambung seorang guru yang ikut menemani. Saya pun hampir saja mengucapkan “ya, itu sudah karakter”.
Kejadian tersebut langsung “menonjok” ingatan saya pada sebuah tulisan hasil downdlowd-an tentang Imanuel Kant, seorang pilosof dan ilmuwan nonmuslim cukup dikenal sangat menghargai dan tahu akan urgensi mengatur waktu. Kedisiplinannya dalam waktu (selalu on time) pernah dijadikan standar waktu oleh orang-orang di sekitarnya. Ia menjadi seperti jarum jam bagi masyarakat sekitarnya. Apabila ia keluar rumah, semua orang tahu bahwa saat itu jam tujuh pagi. Karena setiap ia keluar rumah, biasanya tepat jam tujuh. (http://www.sinai.cjb.net).
Tidak berhenti di situ, pikiran terus menerawang sampai mengingatkan kembali pada obrola tahun tahu dengan seorang teman yang baru datang dari Jepang dan Selandia Baru. Obrolan yang benar-benar membuat diri saya ingin mencoba hidup di kedua negara itu. Inti obrolannya seputar kedisiplinan warga sana, khususnya disipin dalam waktu dan kebersihan kota. Lalu bagaimana dengan orang kita, sudahkah kita menjadi jarum jam –seperti halnya Imanuel Kant- bagi orang lain? Seharusnya sebagai seorang muslim kita lebih bisa berlaku demikian dibanding orang-orang Jepang, Selandia Baru dan orang manapun, termasuk dari seorang Imanuel Kant, karena konsep Islam dalam menata kehidupan sudah begitu lengkap. Kalaupun ada kekurangan pada pola hidup muslim, itu bukan lagi kesalahan konsep Islam dalam memanaj waktu, melainkan dari mereka sendiri.
Saya pun kembali bertanya pada diri sendiri, bisakah saya membawa SMP LIK pada kondisi seperti diceritakan dua kawan tadi; Kiki dari Bandung dan Ibu Warda Katiri dari Bekasi? Hidup disiplin, khusunya disiplin waktu dan kebersihan.
Sambil berjalan mengelilingi area sekolah dan menyaksikan aktivitas para siswa, terdengar Azan shalat Magrib oleh salah seorang siswa. “kepada seluruh siswa diharapkan segera menuju ke masjid karena waktu azan magrib sudah tiba”, ucap sang muadzdzin sebelum memulai azannya. “....man mutaakhkhir al-hammȃm yantadhir” (bagi yang terlambat wc sudah menunggu; baca, harus membersihkan WC)” ucap Mr. Fadhil, seorang guru yang mengurusi program-program keasramaan. Dalam hitungan satu sampai sepuluh para siswa sudah “berlarian” menuju ke tempat wudhu, shalat qablliah magrib dan membaca puji-pujian (shalawatan).
Saya pun tersadarkan akan solusi “bagaimana siswa dapat disiplin dalam waktu?”. Ketepatan waktu shalat akan menjadi solusi sehingga seluruh agenda harian siswa berjalan sesuai jadwal yang telah ditetapkan.
Dalam rentang waktu sehari semalam (24 jam) ada lima salat wajib yang waktu pelaksanaannya telah ditetapkan secara jelas (QS. An-Nisa: 103). Setiap salat telah ditetapkan waktunya, dimana seseorang akan diberi sangsi ketika mengakhirkan dan atau melakukannya di luar waktu yang ditentukan. Waktunya terbentang dari mulai fajar hingga datang fajar kembali. Dengan demikian, salat lima waktu dapat membantu para siswa mengatur waktu-waktunya sepanjang hari, dan mengalokasikannya untuk berbagai macam aktivitas yang dibutuhkan.
(hasan mawardi)

Kecerdasan Anak itu Berbeda-beda

Tidak ada orangg tua yang ingin melihat anak kesayangannya tertinggal dari anak-anak lain seusianya. Kecendrungan yang ada adalah para orangtua berlomba mencetak anak-anaknya menjadi bibit unggul. Orangtua, terutama yang datang dari kalangan mampu secara finansial, seakan tidak ingin melewatkan kesempatan memaksimalkan potensi anak mereka. Gayung pun bersambut, ditandai mulai bermunculannya berbagai jenis sekolah untuk memenuhi "ambisi" para orangtua itu. Efeknya, anak yang seharusnya menjadi penentu dirinya (subyek pedidikan) kini berubah menjadi obyek dari keinginan para orang tua. Kemudian Tidak hanya orang tua, pihak sekolah pun terkadang menjadi pihak yang suka “memaksakan” kehendak demi menjaga citra sekolah.
Pihak lain yang turut bertanggungjawab adalah paradigma dunia pendidikan di Tanah Air masih menggunakan faktor lama, yakni IQ yang berlaku umum. Dalam pandangan kecerdasan umum itu, pengelompokannya ialah IQ di atas 120 dianggap mampu memecahkan segala masalah. Ujungnya, anak masuk ke jurusan ilmu pengetahuan alam alias IPA di sekolah dan dianggap sebagai jaminan kesuksesan masa depan. Tak heran bila kemudian setiap orang menginginkan anaknya masuk jurusan IPA. Sementara IQ sama dengan 100 digolongkan biasa-biasa saja dan kemudian masuk jurusan ilmu pengetahuan sosial alias IPS. Kelompok IQ di bawah 90 dikelompokkan sebagai terbelakang dan masuk sekolah luar biasa.
Paradigma tersebut membuat anak dipompa terus dengan pelajaran sekolah dan dijejali berbagai les bahasa dan matematika yang mengacu kepada otak kiri, tetapi tidak memberi kesempatan perkembangan otak kanan. Anak yang berbakat seni atau olahraga terhambat demi mencapai nilai matematika yang tinggi. Akibatnya, anak tidak mempunyai keunggulan atau tidak percaya diri. Ada pula yang kemudian malah bermasalah, seperti terjerat narkoba atau tawuran.
Mengingat masih kuatnya paradigma tersebut tentu, perlu kiranya dilakukan sebuah revolusi pemikiran bahwa IQ tidaklah segalanya. Pada dasarnya tidak mungkin semua orang ber-IQ tinggi di semua bidang. Mozart, misalnya, mempunyai kecerdasan musikal yang tinggi tetapi kecerdasan sosial dan matematikanya tidak tinggi.
Solusinya adalah dengan membuka sekolah dan atau menerapkan di sekolah-sekolah yang sudah ada konsep kecerdasan majmuk (multiple Intelligence) dimana anak dibiarkan menemukan bakat dan minatnya sendiri. Salah satu sekolah yang mulai konsen pada penerapan multiple Intelligence adalah SMP Boarding Lazuardi Insan Kamil Sukabumi. Sekolah yang didsain sedemikian rupa oleh seorang pakar multiple Intelligence, Munif Chotib, Penulis buku besseler “Sekolahnya Manusia”.
(hasan mawardi)

Indikator Kecerdasan Spiritual Pada Siswa

Kita dapat mengetahui dan menguji seberapa besar Kecerdasan Spiritual siswa melalui beberapa hal berikut:
1. Kemampuan siswa bersikap fleksibel (adaptif secara spontan dan aktif)
2. Tingkat kesadaran diri siswa yang tinggi
3. siswa memiliki kemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan.
4. Kemampuan siswa menghadapi dan melampaui rasa sakit
5. Kualitas hidup siswa diilhami oleh visi dan nilai nilai
6. siswa enggan untuk menyebabkan kerugian yang tidak perlu
7. Kecenderungan siswa melihat keterkaitan antara berbagai hal (berpandangan "holistik")
8. siswa berkecenderungan untuk bertanya "Mengapa?" atau "Bagaimana jika?" untuk mencari jawaban jawaban yang mendasar
9. Kemandirian, yakni siswa memiliki kemudahan untuk bekerja melawan konvensi.
Hidup yang lebih bermakna akan senantiasa melingkupi orang-orang yang mengembangkan kemampuan SQ-nya secara optimal. Untuk mengetahui kapasitas SQ seseorang, Zohar memberikan kuesioner-kuesioner terukur dengan tema-tema berikut: fleksibilitas dalam adaptasi dan spontan; kesadaran diri (self-awareness); kemampuan menghadapi dan mengatasi penderitaan; kemampuan menghadapi dan menyelesaikan kenyerian; kualitas yang terinspirasi oleh visi dan nilai, keengganan untuk berbuat yang menyebabkan kerugian yang tidak perlu; kecenderungan untuk melihat segala sesuatu secara holistik; pencarian jawaban yang fundamental atas pertanyaan "Mengapa" dan "Bagaimana?" dan independen.
Seseorang yang ber-SQ tinggi berpeluang menjadi pemimpin yang melayani (servant leader)—seseorang yang sangat responsif dalam menggiring orang lain kepada visi dan nilai yang lebih tinggi, dan memberikan teladan bagaimana menerapkan visi dan nilai tersebut. Dengan kata lain sebagai insipirator bagi masyarakatnya.
Dari uraian tersebut, yang dimaksud dengan SQ disini adalah kecerdasan seseorang siswa SMP Lazuardi Insan Kamil dalam menghadapi persoalan makna atau value, kecerdasan -berupa kesabaran- dalam menghadapi problem, sehingga yang bersangkutan tidak berlaku tabdzir, isyraf (boros) atau menyia-nyiakan kesempatan yang ada, bersikap fleksibel, berpandangan holistik, keritis dan tetap otonom.
Dengan SQ –juga kecerdasan-kecerdasan lain- yang dimilikinya, siswa Lazuardi Insan Kamil dapat diprediksi bagaimana kinerjanya, karakternya, kesehatan emosi dan fisiknya, kecerdasannya, bakat dan kemauannya, tingkat keyakinannya, caranya memaknai sebuah problem, caranya mengambil hikmah dari sebuah bencana, bagaimana mereka menghadapi tantangan hidup, bagaimana gaya hidupnya, bagaimana kondisi aktivitas kesehariannya, bagaimana cara dan kemampuannya menjalin hubungan dengan orang lain, dan lain sebagainya terkait dengan setiap item masing-masing Kecerdasan tersebut.
Para siswa diharapkan dapat merespon problem kehidupan dengan memotivasi diri untuk terus “mendaki” mencari solusi. Mereka akan selalu memikirkan kemungkinan-kemungkinan alternatif dan bahkan solusi dari problemnya. Mereka tetap berbaik sangka kepada Allah Swt dan kepada sesamanya (QS. Al-Hujurat: 12).
Mereka akan menyambut baik setiap tantangan yang sedang dihadapi, terus memotivasi diri, memiliki semangat tinggi, dan berjuang mendapatkan yang terbaik dari hidup; mereka cenderung membuat segala sesuatu menjadi terwujud, tetap optimis akan kuasa dan kebesaran Allah Swt (QS. Az-Zumar: 53), dan tetap berusaha dan ridha atas ketentuan-Nya (QS. Al-Baqarah: 216 dan An-Nisa: 19).
Mereka meyambut baik setiap perubahan, bahkan ikut mendorong perubahan tersebut ke arah yang positif. Demikian itu karena keyakinan bahwa Allah Swt tidak akan merubah nasibnya menjadi lebih baik kecuali bila ia mau berusaha untuk itu (QS. Ar-Ra`d: 11).
Bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa dan kata-kata yang penuh dengan kemungkinan-kemungkinan (optimisme). Demikian ini karena mereka selalu berpikir positif (husnudz dzan), berpndangan optimis dan holistik terhadap suatu permasalahan. Mereka berbicara tentang apa yang bisa dikerjakan dan bagaimana cara mengerjakannya. Mereka berbicara tentang tindakan dan tidak sabar dengan kata-kata yang tidak didukung dengan perbuatan. Mereka lebih suka banyak beraksi dan sedikit berteori (QS. Ash-Shâf: 3).
Mereka akan memberikan kontribusi yang cukup besar kepada orang lain, seperti terlibat dalam berbagai program sosial. Nabi Saw bersabda: “Sebaik-baiknya kalian adalah orang yang paling bermanfaat bagi orang lain”.
Mereka tidak asing lagi dengan situasi yang sulit karena kesulitan merupakan bagian dari dinamika kehidupan. Nabi Saw bersabda:
“Sungguh unik perkara orang mukmin itu, semua perkaranya adalah baik. Jika mendapatkan kebaikan ia bersyukur, maka itu menjadi sebuah kebaikan baginya. Dan jika ditimpa musibah ia bersabar, maka itu juga menjadi sebuah kebaikan baginya” (H.R. Muslim).
Kesimpulannya, pendidikan di SMP LIK tidak hanya membidik satu kecerdasan saja, misalnya hanya kecerdasan intelektual (IQ) tetapi juga mengembangkan kecerdasan-kecerdasan lainya (Multiple Intelligence). Salah satunya adalah SQ, sebab salah satu penyebab bangsa kita berlarut-larut dalam krisis juga karena bangsa kita miskin SQ atau tepatnya miskin ahlak. Karena itu hal-hal yang sifatnya spiritual juga menjadi sesuatu yang penting untuk terus dijaga dan dikembangkan melalui proses pendidikan sekolah boarding.
(hasan mawardi)

Faktor Yang Mempengaruhi Kecerdasan Spiritual

Seringkali orang beragama menganggap ritual atau ibadah sebagai tujuan bukan sebagai cara. Ibadah dilakukan hanya sebagai sebuah kewajiban yang harus dilakukan, karena jika tidak, akan menerima hukuman dari Tuhan, dan jika dilakukan akan menerima pahala dan surga.
Menjalankan ibadah agama dengan motivasi karena ketakutan (fear motivation) menunjukkan kecerdasan spiritual yang paling bawah, dilanjutkan dengan motivasi karena hadiah (reward motivation) sebagai kecerdasan spiritual yang lebih baik. Tingkatan ketiga adalah motivasi karena memahami bahwa kitalah yang membutuhkan untuk menjalankan ibadah agama kita (internal motivation), dan tingkatan kecerdasan spiritual tertinggi adalah ketika kita menjalankan ibadah agama karena kita mengetahui keberadaan diri kita sebagai makhluk spiritual dan kebutuhan kita untuk menyatu dengan Sang Pencipta berdasarkan kasih (love motivation).
Menurut Islam, penggambaran tugas-tugas ibadah baik vertikal maupun horizontal telah terangkum dalam lima rukun Islam (syahadat, sholat, zakat, puasa dan haji). Kelimanya merupakan sarana peningkatan kecerdasan spiritual manusia. Semakin sering dan baiknya seseorang melakukan tugas tersebut, maka dengan sendirinya kecerdasan spiritualnya akan meningkat.
Namun, sekalipun Danah Zohar dan Ian Marshall telah dinyatakan SQ sebagai kecerdasan tertinggi, SQ yang dikembangkan oleh keduanya masih berkisar pada wilayah biologis dan psikologis semata, dan belum menyentuh wilayah ilahiyah yang transendental.
Menurut Ary Ginanjar Agustian, dalam Islam, kecerdasan Emosional (EQ) dan Kecerdasan Spiritual (SQ) sesungguhnya bagian dari khazanah lama yang terpendam. Sosok Nabi Muhammad dalam kehidupan kesehariannya menggambarkan pada penggabungan kedua aspek kecerdasan tersebut. (Agustian, 2004: vii).
(hasan mawardi)

Kecerdasan Spiritual (SQ)

Setelah dunia dikejutkan dengan penemuan kecerdasan emosional (EQ) yang menjadi pelengkap kecerdasan intelektual (IQ), pada akhir tahun 1997, ditemukan lagi konsep kecerdasan lain yang disebut SQ (Spiritual Quotient) atau Spiritual Intelligence. Penemu jenis kecerdasan ini, Danah Zohar dan Ian Marshall menyatakan bahwa SQ adalah landasan bagi IQ dan EQ hingga keduanya bisa berfungsi secara efektif. (Zohar & Marshall, 2003: 4).
Setelah Danah Zohar dan Ian Marshall mempopulerkan temuannya, yaitu "kecerdasan Spiritual" (SQ: Spiritual Quotient), maka dua teori kecerdasan sebelumnya, IQ dan EQ menjadi “tumbang”. AQ disebut-sebut sebagai ultimate intelligence karena mampu menjembatani potensi IQ dan EQ sehingga bisa menempatkan kehidupan individual seseorang dalam konteks yang lebih luas dan dalam. Inilah kecerdasan yang bisa memberi makna pada kita, melakukan kontekstualisasi dan bersifat transformatif; sebuah kecerdasan yang fleksibel, adaftif dan bergerak dengan penuh kesadaran dalam merespon semua pengalaman yang kita alami.
Kecerdasan semacam inilah yang amat diperlukan oleh manusia modern saat ini yang kebanyakan telah dijangkiti berbagai krisis, terutama krisis spiritual (spiritual crisis) dan krisis eksistensial (existential crisis) yang sebenarnya berawal dari krisis dalam diri sendiri: diri yang sudah buas, bringas dan kehilangan cinta-kasih dan hati nurani.
Hati nurani adalah kemampuan terdalam yang dimiliki setiap orang untuk menemukan kebenaran. Hati nurani bukanlah segumpal daging yang berada di rongga dada kita. Ia tidak dapat digambarkan karena memang bersifat spiritual. Ia berada jauh di bawah kesadaran kita. Kita tidak tahu dimana persisnya ia berada. Kita hanya tahu ''pintu'' yang bisa digunakan untuk menuju kesana. Pintu tersebut berada dalam otak kita. Inilah yang disebut Danar Zohar dan Ian Marshal dengan titik Tuhan (God Spot) yang terdapat di bagian lobus temporal otak kita. (Zohar dan Marshall, 2002: 79).
Penelitian Zohar dan Marshal menunjukkan bahwa bagian ini akan bercahaya begitu kita melakukan aktivitas yang bersifat spiritual. Inilah yang disebut sebagai spiritual quotient (SQ). Pada saat kita beribadah, ataupun melakukan meditasi, sebenarnya kita tengah masuk ke dalam samudera hati nurani ini. Kita menyatukan hati nurani kita bersama hati nurani semua manusia yang ada di jagat raya. Kita memasuki samudera diri kita yang sejati.
Seseorang yang terbiasa memperhatikan peringatan-peringatan dan memenuhi perintah hati nuraninya akan menemukan ketenangan dan kedamaian jiwa. Dan demikian sebaliknya, mereka yang suka mendustakan bimbingan nuraninya akan terperosok dalam kebingungan serta tidak tahu akan melangkah ke mana. (Lari, 1997: 67). Ia benar-benar telah mematikan petunjuk alami dalam dirinya sendiri dan memilih petunjuk lain di luar dirinya.
Kecerdasan spiritual (SQ) ialah kecerdasan yang berperan dalam menyelesaikan masalah-masalah hidup berdasarkan nilai-nilai. Suatu kecerdasan di mana kita berusaha menempatkan tindakan-tindakan dan kehidupan kita ke dalam suatu konteks yang lebih luas, lebih kaya, dan lebih bermakna.
Dua kecerdasan sebelumnya, IQ dan EQ secara terpisah atau bersama samal tidak cukup untuk menjelaskan keseluruhan kompleksitas kecerdasan manusia dan juga kekayaan jiwa serta imajinasinya. Sekalipun komputer memiliki IQ tinggi dan banyak hewan mempunyai EQ tinggi, keduanya tetap tidak pernah bertanya mengapa kita memiliki aturan atau situasi, atau apakah aturan atau situasi itu bisa diubah atau diperbaiki.
SQ memungkinkan manusia menjadi kreatif, mengubah aturan dan situasi. SQ memberi kita rasa moral, kemampuan membedakan, kemampuan menyesuaikan aturan yang kaku dibarengi dengan pemahaman dan cinta. Kita menggunakan SQ untuk bergulat dengan ihwal baik dan jahat, serta untuk membayangkan kemungkinan yang belum terwujud untuk bermimpi, bercita cita, dan mengangkat diri kita dari kerendahan (Zohar dan Marsal, 2002: 5).
Faktor Yang Mempengaruhi Kecerdasan Spiritual
Seringkali orang beragama menganggap ritual atau ibadah sebagai tujuan bukan sebagai cara. Ibadah dilakukan hanya sebagai sebuah kewajiban yang harus dilakukan, karena jika tidak, akan menerima hukuman dari Tuhan, dan jika dilakukan akan menerima pahala dan surga.
Menjalankan ibadah agama dengan motivasi karena ketakutan (fear motivation) menunjukkan kecerdasan spiritual yang paling bawah, dilanjutkan dengan motivasi karena hadiah (reward motivation) sebagai kecerdasan spiritual yang lebih baik. Tingkatan ketiga adalah motivasi karena memahami bahwa kitalah yang membutuhkan untuk menjalankan ibadah agama kita (internal motivation), dan tingkatan kecerdasan spiritual tertinggi adalah ketika kita menjalankan ibadah agama karena kita mengetahui keberadaan diri kita sebagai makhluk spiritual dan kebutuhan kita untuk menyatu dengan Sang Pencipta berdasarkan kasih (love motivation).
Menurut Islam, penggambaran tugas-tugas ibadah baik vertikal maupun horizontal telah terangkum dalam lima rukun Islam (syahadat, sholat, zakat, puasa dan haji). Kelimanya merupakan sarana peningkatan kecerdasan spiritual manusia. Semakin sering dan baiknya seseorang melakukan tugas tersebut, maka dengan sendirinya kecerdasan spiritualnya akan meningkat.
Namun, sekalipun Danah Zohar dan Ian Marshall telah dinyatakan SQ sebagai kecerdasan tertinggi, SQ yang dikembangkan oleh keduanya masih berkisar pada wilayah biologis dan psikologis semata, dan belum menyentuh wilayah ilahiyah yang transendental.
Menurut Ary Ginanjar Agustian, dalam Islam, kecerdasan Emosional (EQ) dan Kecerdasan Spiritual (SQ) sesungguhnya bagian dari khazanah lama yang terpendam. Sosok Nabi Muhammad dalam kehidupan kesehariannya menggambarkan pada penggabungan kedua aspek kecerdasan tersebut. (Agustian, 2004: vii).
(hasan mawardi)

Kecerdasan Emosional (EQ)

Anak yang cerdas emosinya dapat dilihat dari cara ia bersosialisasi. Mereka biasanya bisa berbagi, ramah pada orang, berani menyapa, bisa berinteraksi, bisa tenggang rasa pada orang lain, punya disiplin diri dan tanggung jawab, percaya diri dan tidak cepat merasa takut. Jika seorang anak mengalami masalah-masalah terkait dengan uraian diatas maka tenang saja, karena semuanya bisa dilatih dan diperbaiki. Kuncinya ada pada bagaimana kita memberikan lingkungan sosial yang baik bagi anak. Dan penciptaan lingkungan sosial yang baik itulah amanah yang harus diwujudkan oleh SMP Lazuardi Insan kamil sehingga para siswa cerdas secara emosi.
Harus kita akui, implikasi dari penerapan metode pembelajaran fungsional di sekolah selama ini berlaku ternyata tidak membuat siswa menjadi mandiri dan kreatif. Sistem pembelajaran yang memiliki standar obyektivitas yang kaku dan mengacu hanya pada pengembangan kognitif atau intelektual (IQ). Padahal, menurut Daniel Goleman, seorang doktor psikologi jebolan Harvard University, AS, “IQ hanya menyumbang 20% dalam keberhasilan hidup seseorang, sedangkan EQ atau kecerdasan emosional menyumbang sekitar 80%.”
Oleh karenanya, amatlah penting jika kita mengembangkan faktor EQ dalam proses belajar-mengajar di sekolah. Itu diambil agar para lulusan sekolah memiliki kemandirian, percaya diri, dan mampu berkomunikasi secara efektif di lingkungannya.
Guna mengimplementasikan pembelajaran yang berdasar pengembangan EQ, SMP Boarding Lazuardi Insan Kamil mencantumkan tes komitmen pada proses seleksi guru sehingga terpilih guru-guru yang memiliki visi dan misi yang jelas terhadap masa depan para siswa. Guru-guru yang kreatif dan memiliki kemampuan memprediksi mengenai apa yang kelak muncul dan apa yang tenggelam dari aplikasi bidang studi yang akan diajarkannya.
Sekurangnya guru bisa membawakan materi pelajaran bidang studinya secara menyenangkan kepada para siswa di kelas. Misalnya, melalui film, cerita, kegiatan lapangan, dan berkesenian. Dengan media tersebut, kita harapkan para siswa termotivasi untuk mau belajar dan belajar. Apalagi jika cerita yang dibawakan berisikan nilai-nilai budi pekerti dan juga soal perkembangan teknologi terkini.
Para guru di SMP LIK dituntut kreatif dan pandai memainkan ekspresi dan dramatisasi suasana sehingga perhatian siswa terfokus. Dengan begitu, siswa akan merasa terlibat dalam pembelajaran di kelas. Pada gilirannya, interaksi guru dan siswa akan terasa menyenangkan dan memunculkan keingintahuan siswa. Di sisi lain, guru pun menjadi aktif mencari materi ajar dari berbagai sumber, seperti buku, majalah, tabloid, koran, Internet, dan sebagainya. Para siswa lebih diarahkan untuk memahami pelajaran melalui media-media belajar yang bersifat visual (gambar) sesuai dengan usia perkembangannya.
Selain keaktifan dan kekreatifan guru dalam proses KBM, yang terpenting yang harus dimiliki seorang guru di SMP LIK adalah leadershif dan tauladan. Pembelajaran di harus dilakukan seorang guru yang memiliki kepemimpinan pembelajaran yang berdasar visi masa depan (visioner). Oleh karena itu, guru harus berlaku layaknya leader, dan bukan bertindak sebagai boss. Di simpul itu, guru menjadi faktor penentu bagi keberhasilan siswanya di kelas melalui penanaman nilai-nilai dan jiwa kreatif.
Selain guru yang mumpuni dan kreatif, para siswa juga diberdayakan dan dibiarkan memberdayakan diri agar proses belajar-mengajar dapat berjalan optimal. Itu terkait dengan salah satu rumus keberhasilan EQ. Yaitu, bahwa langkah pertama mengembangkan potensi EQ ialah pemahaman diri (self-understanding), dan keinginan untuk pertumbuhan diri sendiri (a desire for personal growth). Pada gilirannya, setelah langkah itu dilakukan kelak bisa diikuti tahap-tahap belajar selanjutnya. Dengan begitu, kelak nantinya akan terlahir para lulusan yang memiliki daya adaptasi tinggi.
Selanjutnya, selain pembenahan pada sisi guru dan siswa, SMP LIK juga melakukan pembenahan kurikulum. Kurikulum yang disesuaikan dengan situasi zaman dan potensi pemangku kepentingan pada satuan pendidikan. Itu sebabnya, kurikulum SMP LIK terlihat unik dan tidak kaku. Harapannya adalah, jika saat ini para guru mampu mengkreasikan kurikulum, kelak para siswanya terlatih menjadi orang yang kreatif. Untuk itulah, pemberian pengalaman kurikuler guru yang relevan dengan kehidupan riil siswa-siswanya, dipastikan dapat bermanfaat.
Selain unik pada kurikulum sekolah, SMP LIK juga memiliki keunikan pada kurikulum boarding-nya. Dalam kehidupan sehari-hari para siswa dikondisikan dalam sebuah program harian keasramaan yang fokus pada daily rutin dan life attitute. Sebuah program yang diharapkan dapat memantik dan mengembangkan potensi EQ siswa.
(hasan mawardi)

MEMBIDIK TIGA KECERDASAN; IQ, EQ, SQ

Secara keseluruhan program SMP Lazuardi Insan Kamil (LIK) terbagi kepada dua manajemen; pertama, manajemen sekolah yang berada di bawah wakasek I bidang kurikulum yang bertanggungjawab atas seluruh aktivitas siswa selama KBM (kegiatan belajar mengajar) berlangsung dari jam 7.20 hingga jam 14.10. kedua, manajemen keasramaan yang berada di bawah wakasek II bidang keasramaan dan kesiswaan.
Pembagian manajemen tersebut dimaksudkan selain untuk mempermudah manajemen itu sendiri, landasan lainnya adalah jenis kecerdasan yang ditargetkan; Intelektual, Emosional, dan Spiritual. Dengan tetap memperhatikan tiga ranah; kognitif, afektif, dan psikomotorik, program sekolah dimaksudkan untuk membidik kecerdasan intelektual siswa, sementara program-program keasramaan dimaksudkan untuk membidik dua kecerdasan lainnya; emosional dan spiritual.
Dengan mengingikuti dua program; sekolah dan keasramaan (boarding) para siswa dikondisikan untuk hidup di kehidupan riil yang penuh dengan tantangan. Kehidupan yang pasti akan di hadapi setiap siswa, apapun profesinya nanti. SMP LIK adalah miniatur dari dunia yang sebenarnya yang akan dimasuki para siswa ke depan. Setiap harinya mereka akan dihadapkan pada berbagai karakter orang dari latarbelakang keluarga dan daerah yang berbeda. Sebuah kondisi yang menuntut setiap siswa untuk saling berbagi dan siap menerima sebuah perbedaan, sekaligus terbiasa menghargai pripasi orang lain. Mereka benar-benar dituntut memiliki keterampilan hidup (life skills) dan kemampuan menyelesaikan masalah (problem solving).
Para lulusannya nanti diharapkan menjadi insan-insan yang beriman dan beramal shaleh, berakhlak terpuji (memiliki multi kecerdasan; emosional, sosial, moral, spiritual dan adversitas yang tinggi serta cinta terhdap lingkungan), menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, cinta dan terampil dalam belajar dan pengembangan ilmu, kreatif, inovatif, komunikatif, dan percaya diri (self confident). memiliki pengetahuan agama Islam yang luas, kreatif dan memiliki kemampuan menyelesaikan masalah agar selalu siap menghadapi perubahan-perubahan di dunia global, memiliki keterampilan hidup (life skills) agar dapat eksis dalam kompetisi dunia global.
Target terakhir dari pembagian manajemen tersebut adalah melahirkan siswa-siswa yang cerdas dan berakhlak mulia, sesuai dengan visi dan misi sekolah.
(hasan mawardi)

Mendidik Ala Multiple Intelligence

“Tidak ada anak yang bodoh, yang ada adalah guru yang tidak sanggup menggali potensi anak, dan tidaklah seorang guru tak mampu menggali potensi anak kecuali pihak managemen yang jarang memberi pelatihan pada guru-gurunya”, demikian pernyataan seorang Munif Chatib, pakar Multiple Intelligence saat mengisi pelatihan guru-guru SMP Boarding Lazuardi Insan kamil Sukabumi.
Pernyataan demikian sekalipun nampak bombastis, sebetulnya sesuai dengan paradigma baru pendidikan yang sedang berkembang di dunia sekarang, bahwa setiap anak dilahirkan dalam kondisi cerdas. Nampak bombastis karena kenyataan ini memang berlawanan dengan persepsi yang diyakini selama ini bahwa anak cerdas berjumlah terbatas, seakan-akan mereka menempati strata tertentu. Adanya penemuan terbaru ini memang diharapkan akan mengubah pendekatan pendidikan yang selama ingi terlanjur mapan.
Mengingat pentingnya penyamaan paradigma, terutama diantara para guru bahwa setiap anak adalah cerdas, memompa kreativitas mengajar guru adalah kunci terpenting agar kecerdasan setiap anak terkuak keluar. Dan untuk kepentingan itu, SMP Lazuardi Insan kamil konsisten mengembangkan kreativitas mengajar para guru dengan berbagai pelatihan dan menghadiri seminar-seminar pendidikan. Setiap guru yang baru direkrut akan disertakan dalam pelatihan bersama Lazuardi Next, observasi dan magang mengajar di SMP Lazuardi di Cinere (Lazuardi Pusat) dan SMP Lazuardi Cilandak-Jakarta. Selain itu, mereka akan terus mendapatkan kesempatan pelatihan dan konsultasi Lesson Plan dua hari dalam satu bulan bersama Munif Chotib, pakar Multiple Intelligence yang konsisten mengkolsuntani sekolah yang belum lama berdiri ini. Dan agar para guru memahami kebutuhan para siswa boarding, masing-masing guru dikirim ke beberapa sekolah boarding di dalam dan di luar Sukabumi; Al-Kautsar, Al-Bayan, SMA Lazuardi, Smart Ekselensia, dan lain-lain.
Kembali pada tema kecerdasan, Menurut Dr Thomas Amstrong, pakar pendidikan dari Amerika setiap anak dilahirkan dengan membawa potensi yang memungkinkan mereka untuk menjadi cerdas. Sifat yang menjadi bawaan itu antara lain: keingintahuan, daya eksplorasi terhadap lingkungan, spontanitas, vitalitas, dan fleksibilitas. Dipandang dari sudut ini maka tugas setiap orang tua dan guru hanyalah mempertahankan sifat-sifat yang mendasari kecerdasan ini agar bertahan sampai anak-anak itu tumbuh dewasa. Mengapa demikian? Karena ternyata diketahui kualitas kecerdasan ini bisa rusak karena adanya sebab tertentu. Ironisnya pengaruh kuat yang merusak potensi kecerdasan itu ternyata datang dari lingkungan terdekat mereka: rumah dan sekolah!
Situasi rumah yang menimbulkan depresi dan keterasingan berperan memupus bakat alamiah ini. Tekanan juga bisa datang dari orang tua yang karena sebab tertentu malah menghambat kreatifitas, keingintahuan, kegembiraan dalam bermain anak-anak. Ambisi orang tua agar anak-anak mereka meraih prestasi tertentu mendorong anak-anak ini untuk tumbuh terlampau cepat melampaui usia mental mereka dan pada saat bersamaan menghilangkan kegembiraan masa kecil mereka. Mereka pun harus kehilangan kegembiraan masa kecilnya. Mereka kerap menanggung beban keinginan orang tua mereka sendiri dengan terpaksa mengikuti berbagai macam kursus: mulai kursus bahasa asing, sempoa, piano dan sebagainya. Jika saja keinginan tersebut datang atas kemauan anak itu sendiri mungkin tidak mengapa.
Sementara itu di sekolah, perusakan potensi kecerdasan alami itu terjadi lewat kurikulum yang terlampau kaku, tidak fleksibel atau malah membebani. Situasi sekolah yang tidak menyenangkan, guru yang mengajar dengan cara yang membosankan juga ikut andil menyumbang terkuburnya potensi alami tersebut.
Bertolak dari kenyataan itulah di SMP Laziardi Insan Kamil dikembangkan pendekatan pendidikan yang menjadi alternatif bagi sekolah pada umumnya. Sekolah yang dirancang atas pendekatan bahwa setiap anak itu mempunyai kecerdasannya sendiri. Lingkungan sekolah dirancang agar anak-anak tumbuh dengan kreatifitas mereka sendiri, tidak kehilangan kegembiraan masa usia perkembangan mereka, dan membuka ruang yang lebar untuk mengeksplorasi lingkungannya. Kecerdasan alami anak dirangsang lewat kegiatan sederhana seperti bercerita, permainan, kunjungan ke tempat tertentu, dan mengajukan pertanyaan kritis.
Untuk mendukung pendekatan tersebut, sekolah tidak lagi menggunakan sistem ranking dan tidak ada tes psikologi untuk mengukur kecerdasan seorang anak. Sebuah tes jauh dari memadai untuk mengukur kemampuan otak manusia. Sistem rangking malah menciptakan pelabelan di sekolah. Ada anak pintar dan ada anak bodoh. Pendekatan pendidikan terbaru dikembangkan atas keyakinan bahwa setiap anak mempunyai kecerdasannya sendiri dengan cara yang benar-benar berbeda dengan anak lain. Karena itu dalam sistem ini upaya membanding-bandingkan antara anak satu dengan anak lainnya dihindari. Satu-satunya tes yang ditempuh adalah tes MIR (Multiple Intelligence Research) yang berfungsi untuk mengetahui jenis kecerdasan yang paling menonjol pada setiap anak. Hasil tes inilah yang kemudian dijadikan titik tolak oleh setiap guru dalam menyesuaikan gaya mengajarnya dengan gaya belajar para siswa.
Menggunakan pendekatan Multiple Intelligences yang dikembangkan oleh pakar neurosains Dr Howard Gardner adalah Sebagai konsekuensi yang harus dipilih dalam proses kegiatan belajar mengajar di sekolah seperti Lazuardi Insan Kamil. Menurut teori Multiple Intelligences Gardner, manusia mempunyai delapan macam kecerdasan sementara sistem pendidikan pada umumnya hanya mengembangkan dua kecerdasan. Kecerdasan itu adalah: kecerdasan linguistik, matematis-logis, viso-spasial, musik, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, dan naturalis. Anak didik dipetakan menurut kedelapan kecerdasan ini dan mendidik mereka dengan cara berbeda sesuai dengan tipe kecerdasan yang dimiliki masing-masing anak. Karena itu metode pengajaran yang diterapkan bisa sangat khas. Dalam mengajarkan bahasa misalnya, maka cara mengajar untuk anak dengan tipe kecerdasan linguistik berbeda dengan anak bertipe kecerdasan matematis-logis dan berbeda pula untuk anak dengan tipe kecerdasan viso-spasial. Pada umumnya para pengajar akan berkeberatan jika murid-murid mereka bergerak selama pelajaran berlangsung, di sisi lain anak dengan tipe kecerdasan kinestetik -yang selalu bergerak- akan tersiksa jika mereka harus duduk diam selama pelajaran berlangsung, padahal anak dengan tipe ini akan sangat cepat menyerap pelajaran justru dengan membiarkannya bergerak. Pola inilah yang dikenal dengan mendidik sesuai kecerdasan anak. Atau kesesuaian antara gaya mengajar guru dan gaya belajar anak.
Para pendidik di sekolah seperti ini mempunyai keyakinan bahwa tiap anak mempunyai kecepatan dan waktu tersendiri dalam mempelajari atau menguasai sesuatu. Jadi tidak perlu memaksa anak yang belum bisa menulis karya ilmiah untuk bisa menulis ilmiah misalnya. Sebab jika tiba saatnya anak ini akan mampu menulis dengan sendirinya bahkan kemampuannya bisa melampaui anak yang mampu menulis di usia yang lebih dini. Sangat penting untuk disadari adalah menciptakan kondisi yang mampu membuka gerbang kecintaan anak-anak akan pembelajaran. Dengan cara itu diharapkan kita akan mewariskan generasi pembelajar yang mampu untuk belajar dan mengembangkan diri mereka sendiri sepanjang hidup mereka. Dan hal itu bisa dicapai dengan cara menghindarkan setiap kondisi yang membuat mereka justru berhenti atau bahkan membenci proses pembelajaran itu sendiri.
(hasan mawardi)

PENERAPAN PENDIDIKAN KARAKTER

Sebagai pengantar, pendidikan karakter berorintasi pada nilai-nilai universal kebaikan yang menjadi dorongan mewujudnya perilaku-perilaku positif dalam diri siswa sebagai sebuah karakter. Pendidikan karakter tidak bermain pada manifestasi-manifestasi moral dan akhlak yang baik berupa perilaku-perilaku partikular yang bersifat lokal.
Untuk melakukan pendidikan karakter dengan gambaran yang sedemikian rupa diperlukan sebuah kreatifitas dalam menyusun model dan metodologi pendidikan, lebih dari metode yang telah biasa dipergunakan dalam pendidikan moral selama ini.
Untuk mengimplementasikan pendidikan karakter, SMP Lazuardi Insan Kamil mencoba empat model penerapan, yaitu
1) model otonomi dengan menempatkan pendidikan karakter sebagai mata pelajaran tersendiri,
2) model integrasi dengan menyatukan nilai-nilai dan karakter-karakter yang akan dibentuk dalam setiap mata pelajaran,
3) model ekstrakurikuler (unit-unit aktivitas) melalui sebuah kegiatan tambahan yang berorintasi pembinaan karakter siswa, dan
4) model kolaborasi dengan menggabungkan ketiga model tersebut dalam seluruh kegiatan sekolah.

Model Otonom
Model otonomi yang memposisikan pendidikan karakter sebagai sebuah mata pelajaran tersendiri menghendaki adanya rumusan yang jelas seputar standar isi, kompetensi dasar, silabus, rencana pembelajaran, bahan ajar, metodologi dan evaluasi pembelajaran. Jadwal pelajaran dan alokasi waktu merupakan konsekuensi lain dari model ini. Sebagai sebuah mata pelajaran tersendiri pendidikan karakter akan lebih terstruktur dan terukur. Guru mempunyai otoritas yang luas dalam perencanaan dan membuat variasi program karena ada alokasi waktu yang dikhususkan untuk itu.
Model otonomi ini ditempuh melalui sebuah mata pelajaran bernama ICB (Islamic Character Building). Sebuah silabus telah berhasil dibuat untuk kemudian diajarkan pada setiap semester selama masa tiga tahun pembelajaran. Sebuah silabus yang masih jauh dari ideal yang masih perlu disempurnakan di sana-sini, khususnya orientas kurikulum yang masih bersifat kognitif. Silabus ini masih lebih banyak menyentuh aspek kognitif siswa, belum menyentuh terlalu jauh sampai pada aspek afektif dan perilaku.
Kelemahan lain dari model penerapan ini adalah lahirnya asumsi bahwa tanggung jawab pembentukan karakter hanya ada pada guru bidang studi sehingga keterlibatan guru lain sangat kecil. Pada akhirnya pendidikan karakter akan gagal karena hanya mengisi intelektual siswa tentang konsep-konsep kebaikan, sementara emosional dan spiritualnya tidak terisi.

Model Integrasi
Selain model otonomi seperti dimaksudkan di atas, SMP LIK juga menerapan model kedua yang mengintegrasikan pendidikan karakter dengan seluruh mata pelajaran. Demikian itu lahir dengan paradigma bahwa semua guru adalah pengajar karakter (character educator). Semua mata pelajaran diasumsikan memiliki misi moral dalam membentuk karakter positif siswa. Dengan model ini maka pendidikan karakter menjadi tanggung jawab kolektif seluruh komponen sekolah. Model ini diharapkan dapat menyempurnakan dan meminimalkan kekurangan model pertama. Dalam prakteknya, setiap guru bidang studi diminta memasukkan sebuah indikator hasil belajar (IHB) terkait karakter yang diinginkan pada setiap tema pembelajaran.
Konsekwensi dari penerapan model kedua ini adalah kesiapan, wawasan moral dan keteladanan dari seluruh guru. Satu hal yang lebih sulit dari pada pembelajaran karakter itu sendiri. Model ini juga menuntut kreatifitas dan keberanian para guru dalam menyusun dan mengembangkan silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).
Dengan merujuk pada visi dan misi SMP LIK, semua materi pelajaran –khususnya agama- disusun dan diarahkan pada penanaman akhlak: Matematika berbasis akhlak, Biologi berbasis akhlak, Fiqh berbasis Akhlak, Sains berbasis Akhlak, Bahasa (Arab, Inggris, Indonesia) berbasis Akhlak, Penjaskes berbasis Akhlak, IPS berbasis Akhlak, dan lain sebagainya. Artinya, semua pelajaran diorientasikan kepada penanaman akhlak Allah – takhallaqu bi akhlaaqilLaah-, berdasarkan pada nama-namaNya yang baik (al-asma’ al-husna).
(hasan mawardi)

Kenapa SMP LIK dilahirkan?

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah Swt atas limpahan karunia dan hidayah-Nya. Shalawat dan salam senantiasa disampaikan kepada Rasulullah Saw, keluarga dan sahabat serta pengikutnya.
Tidak ada anak yang dilahirkan bodoh, melainkan kesempatan untuk mengembangkan kecerdasan yang tidak merata. Kesempatan erat kaitannya dengan ketersediaan mutu, pemerataan penyelenggaraan serta biaya pendidikan.
Untuk terjaminnya mutu pendidikan yang efektif dan berkesinambungan kami merasa perlu menyediakan sistem pendidikan yang inklusif dalam lingkungan sekolah berasrama atau boarding school dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang memadai, sarana ibadah, olahraga, lab, perpustakaan, asrama, dll yang lengkap dan mudah diakses oleh para siswa.
Sebagai dasar pemikiran, pendidikan karakter di sekolah-sekolah sudah menjadi bahan keprihatinan selama bertahun-tahun tetapi belum nampak tawaran konkrit bagaimana mewujudkannya dalam sistem sekolah.
Pendidikan karakter menjadi semakin penting dan mendesak dapat kita simak dari berita-berita di surat kabar dalam beberapa bulan terakhir ini menyangkut plagiarisme dan contek-menyontek yang semakin lazim dan dianggap bukan suatu d yang puncaknya adalah korupsi.
Maka berdasarkan pemikiran di atas, SMP Lazuardi Insan Kamil lahir dan menawarkan metode dan sistem pendidikan yang bertujuan mengemukakan pendidikan akhlak, dan persis itulah yang kami sebut sebagai character building (pembentukan karakter)
Yang dimaksudkan dengan karakter atau akhlak Insan Kamil (manusia sempurna) adalah prilaku yang didasari kejujuran, kerendahan hati, ketegasan, lemah lembut, kasih sayang, empati, dan lain-lain, tanpa mengecilkan –tapi justru menekankan- kecerdasan akal, hati dan rohani.
Sistem pendidikan dirancang dengan tetap memperhatikan standarisasi kurikulum Diknas dan diperkaya dengan strategi pembelajaran kecerdasan majemuk (multiple intelligence) dengan merujuk kepada karakter ideal yang ada pada diri Rasulullah saw.
Kurikulum dan silabus disusun dengan memperhatikan kondisi masyarakat Indonesia dan masyarakat global (dunia) yang plural sehingga peserta didik siap terjun ke masyarakat dengan wawasan yang terbuka terhadap kemajemukan
SMP Lazuardi Insan Kamil bukan hanya menaruh perhatian pada pendidikan siswa-siswanya tetapi terus menerus meningkatkan kemampuan mengajar dan mendidik para guru. Secara berkesinambungan guru-guru mengikuti pelatihan sesuai dengan bidang pengajaran mereka dan kemajuan ilmu
Mengapa SMP Lazuardi Insan Kamil memilih sistem asrama (boarding school)? Kami percaya bahwa sistem ini akan menjamin efektivitas pendidikan yang terintegrasi yaitu telibat secara penuh dengan perkembangan anak baik ketika mereka belajar di kelas, praktik di lapangan, belajar, beribadah, bermain dan isitrahat. Kami juga percaya sistem asrama yang dibangun sesuai dengan kebutuhan anak dan kepentingan seusianya yang akan menciptakan suasana yang menyenangkan dan kondusif untuk perkembangan pribadi
Dengan pertimbangan di atas, asrama dibangun dikawasan yang memungkinkan adanya perkebunan, perikanan serta tidak menutup para siswa untuk berinteraksi dengan masyarakat diluar asram.
Harapannya, keberadaan sekolah ini dapat berhasil mengasah kecerdasan akal dan hati para siswa sehingga di masa depan akan lahir pemimpin yang cerdas, pandai berkomunikasi dalam berbagai bahasa, ahli dalam penggunaan teknologi informasi dan komunikasi serta jujur, berakhlak mulia dan peduli kepada kaum lemah.
Sekolah ini benar-benar dibangun sebagai upaya murni untuk melaksanakan cita-cita Pendiri sebagai bentuk rasa syukur dan ibadah kehadirat Allah Swt Yang Maha Kasih Sayang dan tidak direncanakan untuk mendapatkan keuntungan secara pribadi ataupun kelembagaan.
Dengan memohon bimbingan serta taufik kepada Allah Swt, mudah-mudahan cita-cita pendiri, Abah Jufri dan Umi, bisa segera terwujud.
(hasan mawardi)

Paradigma Baru Pembelajaran.

Harus kita akui, implikasi dari penerapan metode pembelajaran fungsional di sekolah selama ini berlaku ternyata tidak membuat siswa menjadi mandiri dan kreatif. Sistem pembelajaran yang memiliki standar obyektivitas yang kaku dan mengacu pada pengembangan kognitif atau intelektual (IQ). Padahal, menurut Daniel Goleman, seorang doktor psikologi jebolan Harvard University, AS, “IQ hanya menyumbang 20% dalam keberhasilan hidup seseorang, sedangkan EQ atau kecerdasan emosional menyumbang sekitar 80%.”

Oleh karenanya, amatlah penting jika kita mengembangkan faktor EQ dalam proses belajar-mengajar di sekolah. Itu diambil agar para lulusan sekolah memiliki kemandirian, percaya diri, dan mampu berkomunikasi secara efektif di lingkungannya.

Guna mengimplementasikan pembelajaran yang berdasar pengembangan EQ, SMP Boarding Lazuardi Insan Kamil mencantumkan tes komitmen pada proses seleksi guru sehingga terpilih guru-guru yang memiliki visi dan misi yang jelas terhadap masa depan para siswa. Guru-guru yang kreatif dan memiliki kemampuan memprediksi mengenai apa yang kelak muncul dan apa yang tenggelam dari aplikasi bidang studi yang akan diajarkannya.

Sekurangnya guru bisa membawakan materi pelajaran bidang studinya secara menyenangkan kepada para siswa di kelas. Misalnya, melalui film, cerita, kegiatan lapangan, dan berkesenian. Dengan media tersebut, kita harapkan para siswa termotivasi untuk mau belajar dan belajar. Apalagi jika cerita yang dibawakan berisikan nilai-nilai budi pekerti dan juga soal perkembangan teknologi terkini.

Para guru di SMP LIK dituntut kreatif dan pandai memainkan ekspresi dan dramatisasi suasana sehingga perhatian siswa terfokus. Dengan begitu, siswa akan merasa terlibat dalam pembelajaran di kelas. Pada gilirannya, interaksi guru dan siswa akan terasa menyenangkan dan memunculkan keingintahuan siswa. Di sisi lain, guru pun menjadi aktif mencari materi ajar dari berbagai sumber, seperti buku, majalah, tabloid, koran, Internet, dan sebagainya. Para siswa lebih diarahkan untuk memahami pelajaran melalui media-media belajar yang bersifat visual (gambar) sesuai dengan usia perkembangannya.
Selain keatifan dan kekreatifan guru dalam proses KBM, yang terpenting yang harus dimiliki seorang guru di SMP LIK adalah leadershif dan tauladan. Pembelajaran di harus dilakukan seorang guru yang memiliki kepemimpinan pembelajaran yang berdasar visi masa depan (visioner). Oleh karena itu, guru harus berlaku layaknya leader, dan bukan bertindak sebagai boss. Di simpul itu, guru menjadi faktor penentu bagi keberhasilan siswanya di kelas melalui penanaman nilai-nilai dan jiwa kreatif.
Selain guru yang mumpuni dan kreatif, para siswa juga diberdayakan dan dibiarkan memberdayakan diri agar proses belajar-mengajar dapat berjalan optimal. Itu terkait dengan salah satu rumus keberhasilan EQ. Yaitu, bahwa langkah pertama mengembangkan potensi EQ ialah pemahaman diri (self-understanding), dan keinginan untuk pertumbuhan diri sendiri (a desire for personal growth). Pada gilirannya, setelah langkah itu dilakukan kelak bisa diikuti tahap-tahap belajar selanjutnya. Dengan begitu, nantinya akan terlahir para lulusan yang memiliki daya adaptasi tinggi.

Selanjutnya, selain pembenahan pada sisi guru dan siswa, SMP LIK juga melakukan pembenahan kurikulum. Kurikulum yang disesuaikan dengan situasi zaman dan potensi pemangku kepentingan pada satuan pendidikan. Itu sebabnya, kurikulum SMP LIK terlihat unik dan tidak kaku. Harapannya adalah, jika saat ini para guru mampu mengkreasikan kurikulum, kelak para siswanya terlatih menjadi orang yang kreatif.
(hasan mawar)

Kamis, 04 November 2010

Kurban di Sekolah

Menjelang Idul Adha tiba, para siswa di Lazuardi Cinere dari SD hingga SMP mulai sibuk menghitung uang tabungan kelas (kas) yang khusus mereka kumpulkan untuk membeli hewan kurban. Hewan qurban pun kemudian disembelih pada hari “H” nya yang wajib dihadiri oleh kelas bersangkutan. Kini, penyembelihan hewan kurban banyak dilakukan di sekolah-sekolah. Kegiatan ini sangat marak, karena memang digalakkan oleh beberapa sekolah, baik swasta maupun negeri. Biasanya dana yang terkumpul kemudian digunakan untuk membeli hewan kurban sapi atau kambing. Alasan yang melatar belakangi perbuatan ini, yaitu untuk melatih siswa melaksanakan ibadah sekaligus memupuk rasa empati dan simpati mereka kepada kaum dhua`fa di sekitar lingkungan sekolah.
Tahun ini, karena SMP Lazuardi Insan Kamil baru berdiri , sekolah tidak membuka “keran” kurban secara formal, kendati sejak awal Abah Jufri sudah menitipkan uang tuk membeli tiga ekor kambing. Para siswa pun yang jumlahnya kini 22 siswa tidak memiliki dana kas yang cukup untuk membeli seekor kambing pun. Namun ada beberapa orang tua siswa yang sempat menanyakan “apa sekolah mengadakan acara potong hewan qurban?”, “setiap tahun Abah Jufri pasti memotong hewan Qurban” jawab kami.
Hamdulillah tahun ini sudah ada dua siswa kita yang akan memotong hewan kurbannya di sekolah. Bagi siswa lain -dan siapapun selain siswa- yang juga ingin berkurban di sekolah kami insyaallah siapa menyalurkan daging hewan kurban anak Ibu/Bapak ke masyarakat yang berhak.
Untuk Qurban tahun depan insyaallah kami akan mengkondisikan para siswa untuk menyisihkan sebagian uang jajannya dan akan dibelikan hewan kurban yang dipotong atas nama kelas yang bersangkutan. Mudah-mudahan ini jadi tradisi SMP LIK yang baik ke depan.

Catatan;
1.Harga seekor kambing berkisar antara 1-2 jt (Tipe A,B,C)
2.Bagi yang berniat kurban di sekolah silahkan menghubungi Mr. Qomar

(Hasan Mawardi, M.Si)
Kepala SMP LIK