Sabtu, 30 Januari 2010

Character Building

Character Building
Oleh Munif Chatib

Ketika saya mengusulkan kepada seorang kepala sekolah—di sebuah sekolah yang menjadi binaan kami—agar tidak menggunakan tes masuk model apa pun dalam menerima siswa baru, sang kepala sekolah tersebut kaget luar biasa. “Kalau penerimaan siswa baru tidak pakai tes masuk, pasti sekolah ini nanti banyak diisi oleh siswa-siswa yang bodoh-bodoh dan nakal-nakal. Terus bagaimana kualitas lulusan kita nanti,” demikian alasan kekagetan sang kepala sekolah.

Setelah kekagetannya agak mereda, saya pun menjelaskan bahwa mereka, para siswa baru itu, pada dasarnya tidak ada yang bodoh dan nakal. Semua anak itu memiliki potensi. Nah, nanti, setelah para siswa baru yang masuk tanpa tes itu diterima, mereka kemudian akan menjalani Multiple Intelligences Research (MIR). MIR ini berfungsi untuk mengetahui gaya belajar siswa, sebuah data yang sangat penting yang harus diketahui oleh para guru yang akan mengajar mereka.

Kepala sekolah itu tetap tidak nyaman dan dahinya tampak masih berkerut. Saya pun berkata kepadanya, ”Keberadaan sekolah ini, yang akan kita namakan ‘Sekolahnya Manusia’, adalah untuk memintarkan anak-anak yang bodoh dan membaikkan anak-anak yang nakal. Sekolah ini menggunakan konsep the best process, bukan the best input. Percayalah nanti kita akan banyak menemukan keajaiban dari perubahan sifat-sifat anak didik kita yang negatif menjadi positif. Memang tugas guru menjadi berat, tidak lagi santai. Namun, inilah sesungguhnya tugas seorang pendidik: mengubah yang kurang baik menjadi baik.”

Lalu apa yang terjadi setelah penerimaan siswa baru yang tanpa tes masuk itu selesai. Benar bahwa lewat kacamata-lama, 80% siswa adalah anak yang bodoh-bodoh dan nakal-nakal. Sekali lagi saya kumpulkan semua guru pada awal tahun ajaran baru. Saya berikan pelatihan tentang multiple intelligences strategy dan hal-hal yang terkait dengannya untuk menyamakan paradigma (kacamata)-baru dan memperkuat paradigma-baru tersebut. Hasil dari pelatihan itu ada beberapa poin penting yang harus dipahami oleh para guru.

Pertama, diperlukan adanya keyakinan bahwa tidak ada siswa yang bodoh dan tidak ada pelajaran yang sulit. Setiap anak mempunyai kecenderungan kecerdasan yang majemuk dan gaya belajar yang beraneka ragam. Guru harus melayani gaya belajar siswa tersebut. Apabila gaya belajar setiap siswa dapat terlayani, mereka akan menjadi senang belajar dan mudah memahami pelajaran.

Kedua, akan terjadi ”eforia kebebasan” oleh siswa dalam bulan-bulan pertama. Dengan model para guru melayani siswa dan siswa diberi informasi bahwa keberhasilan belajar terletak pada pundak siswa sendiri, bukan pada pundak gurunya, maka hampir semua siswa akan berlomba-lomba menunjukkan eksistensinya. Siswa yang nakal berusaha sekuat mungkin menunjukkan kenakalannya. Begitu pula dengan siswa yang malas, siswa yang cuek, dan siswa yang serius. Bayangkan, tiga bulan pertama terjadi ”eforia kebebasan” yang luar biasa. Pada saat inilah betapa pentingnya memahami keunikan setiap siswa.

Ketiga, ada dua senjata rahasia yang perlu dikantongi oleh para guru dalam menghadapi eforia tersebut, yaitu strategi mengajar dengan multiple intelligences dan pemanfaatan bidang studi baru yang bernama character building. Strategi mengajar dengan multiple intelligences menjadi alat efektif untuk proses pembelajaran di mana targetnya adalah siswa mampu memahami setiap indikator hasil belajar dari setiap bidang studi. Dengan memahami setiap indikator hasil belajar, diharapkan para siswa merasa tidak ada pelajaran yang sulit, malah sangat menyenangkan, meskipun itu bidang studi matematika, bahasa Inggris, dan sains yang selama ini dianggap momok yang menakutkan.

Setelah itu, character building sebagai senjata yang kedua menjadi alat yang efektif untuk memperbaiki perilaku para siswa. Senjata ini dimanfaatkan untuk menyelesaikan masalah siswa yang memiliki perilaku negatif. Caranya adalah dengan mengajarkan bidang studi ini tidak dalam bentuk kognitif dan hafalan-hafalan. Pendidikan character building langsung disimulasikan oleh siswa.

Sebagai contoh, ada seorang guru character building yang mengajar materi tentang kebohongan. Begitu pertama kali masuk kelas, dia berkata kepada salah seorang muridnya, “Ilham, sepertinya kamu harus turun ke bawah ke kantor Tata Usaha (TU). Di kantor TU, ada mamamu dan sepertinya mamamu sedang marah-marah. Tentulah ada sesuatu yang tidak beres. Kamu harus turun ke bawah untuk menenangkan mamamu.”

Tentu saja, Ilham sangat terkejut mendengar berita yang langsung berasal dari gurunya. Secepat kilat Ilham keluar kelas dan turun dari lantai 3 ke lantai 1 menuju kantor TU. Di benaknya dia mencari-cari petunjuk mengapa mamanya marah-marah? Apa yang sedang terjadi? Dengan nafas tersengal-sengal sampailah Ilham di kantor TU. Ternyata, di kantor TU tidak ada siapa-siapa. Mamanya tidak ada. Dada Ilham seperti mau meledak.

Sementara itu di kelas Ilham, di lantai tiga, sang guru mengatakan kepada semua siswa kalau berita yang baru saja disampaikan kepada Ilham adalah berita bohong. Sang guru ingin memberi pengalaman nyata, bagaimana perasaan sang korban yang berhasil dibohongi. Sang guru pun memberikan pertanyaan kepada semua siswa tentang apa kira-kira yang terjadi pada Ilham ketika dia kembali ke kelas?

Kelas pun menjadi ramai. Semua kemungkinan yang akan dirasakan Ilham telontar dari mulut para siswa, teman-teman Ilham. Benar saja, ketika pintu kelas terbuka dan Ilham muncul, tampaklah wajah Ilham yang marah. Hati Ilham tampak dongkol. Dia benar-benar merasa dibohongi. Langsung saja gurunya meminta maaf dan mengatakan maksud sebenarnya dari penyampaian berita bohong tersebut. Ilham lalu diminta dengan jujur mengatakan bagaimana perasaannya ketika dibohongi di depan kelas. Setelah itu pelajaran dilanjutkan dengan diskusi dan simulasi-simulasi dan riset-riset perilaku yang lain.

Nah seperti itulah praktik pembelajaran bidang studi character building. Sangat menarik, membangkitkan emosi, dan mempunya relevansi pada kehidupan sehari-hari.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar