Senin, 08 November 2010

Kecerdasan Anak itu Berbeda-beda

Tidak ada orangg tua yang ingin melihat anak kesayangannya tertinggal dari anak-anak lain seusianya. Kecendrungan yang ada adalah para orangtua berlomba mencetak anak-anaknya menjadi bibit unggul. Orangtua, terutama yang datang dari kalangan mampu secara finansial, seakan tidak ingin melewatkan kesempatan memaksimalkan potensi anak mereka. Gayung pun bersambut, ditandai mulai bermunculannya berbagai jenis sekolah untuk memenuhi "ambisi" para orangtua itu. Efeknya, anak yang seharusnya menjadi penentu dirinya (subyek pedidikan) kini berubah menjadi obyek dari keinginan para orang tua. Kemudian Tidak hanya orang tua, pihak sekolah pun terkadang menjadi pihak yang suka “memaksakan” kehendak demi menjaga citra sekolah.
Pihak lain yang turut bertanggungjawab adalah paradigma dunia pendidikan di Tanah Air masih menggunakan faktor lama, yakni IQ yang berlaku umum. Dalam pandangan kecerdasan umum itu, pengelompokannya ialah IQ di atas 120 dianggap mampu memecahkan segala masalah. Ujungnya, anak masuk ke jurusan ilmu pengetahuan alam alias IPA di sekolah dan dianggap sebagai jaminan kesuksesan masa depan. Tak heran bila kemudian setiap orang menginginkan anaknya masuk jurusan IPA. Sementara IQ sama dengan 100 digolongkan biasa-biasa saja dan kemudian masuk jurusan ilmu pengetahuan sosial alias IPS. Kelompok IQ di bawah 90 dikelompokkan sebagai terbelakang dan masuk sekolah luar biasa.
Paradigma tersebut membuat anak dipompa terus dengan pelajaran sekolah dan dijejali berbagai les bahasa dan matematika yang mengacu kepada otak kiri, tetapi tidak memberi kesempatan perkembangan otak kanan. Anak yang berbakat seni atau olahraga terhambat demi mencapai nilai matematika yang tinggi. Akibatnya, anak tidak mempunyai keunggulan atau tidak percaya diri. Ada pula yang kemudian malah bermasalah, seperti terjerat narkoba atau tawuran.
Mengingat masih kuatnya paradigma tersebut tentu, perlu kiranya dilakukan sebuah revolusi pemikiran bahwa IQ tidaklah segalanya. Pada dasarnya tidak mungkin semua orang ber-IQ tinggi di semua bidang. Mozart, misalnya, mempunyai kecerdasan musikal yang tinggi tetapi kecerdasan sosial dan matematikanya tidak tinggi.
Solusinya adalah dengan membuka sekolah dan atau menerapkan di sekolah-sekolah yang sudah ada konsep kecerdasan majmuk (multiple Intelligence) dimana anak dibiarkan menemukan bakat dan minatnya sendiri. Salah satu sekolah yang mulai konsen pada penerapan multiple Intelligence adalah SMP Boarding Lazuardi Insan Kamil Sukabumi. Sekolah yang didsain sedemikian rupa oleh seorang pakar multiple Intelligence, Munif Chotib, Penulis buku besseler “Sekolahnya Manusia”.
(hasan mawardi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar